Mitigasi Bencana Bagi Penyandang Disabilitas

Mitigasi Bencana Bagi Penyandang Disabilitas

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan bencana alam tinggi. Hal ini disebabkan karena Indonesia berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik yang saling bertabrakan menyebabkan gempa bumi, letusan gunung berapi dan tsunami. Selain itu, didukung oleh posisi Indonesia yang berada diantara garis khatulistiwa dan memiliki dua musim yang berpotensi menyebabkan banjir, tanah longsor, badai, kekeringan dan kebakaran hutan. Bencana sering kali dianggap sebagai peristiwa alam ekstrim diluar kendali manusia dan banyak memakan korban. Bencana dikonseptualisasikan sebagai masalah dalam masyarakat penyebab kerentanan yang tidak proporsional terhadap kelompok tertentu, seperti penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas merupakan mereka yang mempunyai keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik yang dapat menghambat dalam melakukan kegiatan seperti pada umumnya. Ada banyak sebagian orang menjadi difabel sejak lahir, namun ada juga yang menjadi difabel karena suatu kejadian. Menurut World Health Organization (WHO) tentang disabilitas, melaporkan bahwa sekitar 1,3 miliar orang atau sekitar 16% mengalami disabilitas dari populasi global. Individu penyandang disabilitas menjadi salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap bencana alam, terutama saat kehilangan anggota keluarga, alat bantu, alat mobilitas, adanya hambatan dalam mengakses informasi, sarana dan infrastruktur. Berdasarkan data tersebut kebutuhan dan kerentanan khusus disabilitas perlu diperhatikan di dalam setiap perencanaan serta penanggulangan bencana. Faktor penyebab rentannya penyandang disabilitas saat bencana, antara lain sebagai berikut:
1. Belum maksimalnya program persiapan bencana
2. Partisipasi disabilitas minim dalam pendidikan pengurangan risiko bencana
3. Aksesibilitas yang terbatas terhadap materi pengurangan risiko bencana
4. Kurangnya pendataan spesifik dan mendetail
5. Kurangnya fasilitas layananan

Mengintegrasikan kebutuhan penyandang disabilitas pada semua tahap proses manajemen bencana, terutama selama perencanaan dan kesiapsiagaan dapat secara signifikan mengurangi kerentanan serta meningkatkan efektivitas upaya tanggap darurat. Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi tidak hanya harus inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Tetapi juga melibatkan partisipasi penyandang disabilitas untuk memastikan bahwa hak dan kebutuhan mereka dihormati, dilindungi serta dipenuhi. Partisipasi ini penting dilakukan karena penyandang disabilitas lebih memahami kebutuhan mereka sendiri.

Mitigasi sebagai langkah pertama dalam menghadapi bencana memiliki fase pencegahan yang diikuti oleh fase kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan. Prinsip mitigasi bencana yaitu pengurangan risiko bencana yang bertujuan untuk mengurangi kerusakan akibat bahaya alam dan manajemen risiko bencana yang menangani, memperbaiki atau mengurangi risiko bencana yang sudah ada. Beberapa pendekatan inklusif terhadap mitigasi bencana pada penyandang disabilitas, antara lain sebagai berikut:
1. Perencanaan, persiapan dan pengurangan risiko dengan melakukan pelatihan mengenai proses evakuasi yang inklusif terhadap disabilitas dan penyediaan tempat penampungan atau perumahan publik.
2. Partisipasi yang lebih besar penyandang disabilitas untuk terlibat dalam desain, implementasi, koordinasi, pemantauan dan evaluasi respon terhadap pengungsian, serta dalam manajemen bencana dan pengurangan risiko yang lebih luas.
3. Manajemen data yang lebih baik diperlukan untuk mengetahui jumlah penyandang disabilitas pada suatu wilayah dan dalam kurun waktu tertentu. Pemetaan ini untuk memastikan inklusi mereka terintegrasi dalam perencanaan manajemen bencana.

Keberhasilan implementasi sistem tanggap darurat terhadap penyandang disabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Komitmen politik untuk mengembangkan manajemen risiko bencana yang efektif bagi penyandang disabilitas.
2. Koordinasi yang berkelanjutan melalui satu badan administrasi pemerintah, sehingga semua informasi yang relevan dikumpulkan dan terpusat.
3. Jaringan kerja harus ada yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk bertemu dan bertukar informasi mengenai tantangan yang akan dihadapi, serta solusi yang efektif.
4. Perencanaan strategis melalui organisasi kegiatan pelatihan dan evakuasi latihan darurat, manajemen pengetahuan, identifikasi, optimasi sumber daya serta komunikasi.

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0